Ada sejumlah indikasi bahwa tanpa disadari kita cenderung rasis, hirarkis, dan diskriminatif, yang berimplikasi pada sikap sangat tidak simpatik. Dalam percakapan sehari-hari, tak jarang kita mendengar ungkapan seperti ; “dasar tukang becak, dasar negro, dasar pembantu, seperti tukang parker saja kamu, dasar orang desa, kampungan”, dan lain-lain. Belum lagi ungkapan seperti bodoh, tolol, idiot, dan sebagainya.
Ungkapan “dasar tukang becak bodoh”, secara ideologis menyimpan stigma pekerjaan itu hina dan rendahan. Pekerjaan itu hanya cocok untuk orang bodoh. Pekerjaan itu hanya mengandalkan otot. Pekerjaan itu murahan, maka tukang becak itu pasti miskin. Dan saya bukan tukang becak, jadi saya tidak hina, tidak rendahan, pandai dan miskin.
Misal lain, ungkapan “ dasar orang desa, kampungan”. Ungkapan itu menyimpan anggapan orang desa itu bodoh, tidak punya pengetahuan, miskin, tidak punya etika seperti orang kota, ketinggalan zaman. Yang berdimensi rasis misalnya, maaf, saya terpaksa mengambil contoh, “dasar negro”. Di balik ungkapan itu mengandung makna, orang negro itu hitam, bau, tidak pernah mandi, miskin, bodoh, tukang buat criminal. Saya bukan negro, maka saya tidak bau, rajin mandi, tidak miskin, tidak bodoh, dan tidak pernah berbuat criminal. Saya berbeda dengan orang negro, saya bukan mereka.
Yang tidak kalah berbahayanya adalah pernyataan “Mereka itu pendatang”. Di balik ungkapan itu terkandung makna pendatang tidak sama dengan penduduk asli/pribumi. Pendatang harus menyesuaikan diri dengan penduduk asli, kalau tidak para pendatang boleh dimusuhi, boleh tidak dijadikan teman. Ini pula yang membuat kita tidak bisa menerima orang lain apa adanya, orang lain berbeda dengan kita, kita bukan mereka. Perbedaan tersebut menyembunyikan bahaya laten konflik.
Bara Prasangka
Munculnya perbedaan ini terutama dalam konteks ada yang merasa mayoritas, di satu pihak, dan ada yang dianggap minoritas. Kelompok mayoritas akan mendominasi atau bahkan menghegemoni, agar si minoritas tidak mengganggu dominasi mayoritas. Hal ini tentu juga berkaitan terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik, juga sosial budaya.
Pemeliharaan stigma tersebut secara terus menerus menimbulkan perbedaan. Adanya perbedaan akan menmbulkan jarak dan menyulitkan komunikasi. Jika komunikasi tidak terjalin, maka tidak aka nada saling pemahaman, maka perbedaan akan berpotensi menjadi musuh dalam selimut. Perbedaan memelihara bara prasangka. Prasangka ajan mengalami berbagai pemelintiran dan membengkak menjadi penyakit sosial dan budaya.
Yang merasa di-liyan-kan juga tak kunjung bisa hidup wajar karena dianggap berbeda dan dijauhi. Dalam situasi itu, akan selalu muncul resistensi karena yang di-liyan-kan akan berusaha hidup layak dan normal. Berbagai konflik selalu membayang. Sayatidak ingin mengatakan bahwa hal rasis, hirarkis, dan diskriminatif ini sebagai konstruksi colonial. Karena hal itu sudah ada jauh sebelum colonial masuk ke Indonesia.
Perlunya Empatik
Masalahnya, kita tidak pernah tahu dilahirkan di mana, kapan, sebagai anak siapa, dan kela hidup di mana. Kita tidak tahu apakah kita bodoh atau pintar. Membangun kesadaran ini penting, bukan saja dalam konteks religious, spiritual, atau etik, tapi lebih-lebih dalam konteks sosial. Kesadaran itu juga sangat penting untuk ditumbuhkan dan dipelihara sebagai satu pemahaman bahwa manusia itu kodratnya sama, dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan.
Siapa orang yang mau lahir bodoh, atau kelak hidup miskin, tidak ada. Siapa yang nau jadi tukang becak atau bercita-cita jadi pekerja rumah tangga (kita biasa menyebutnya pembantu),tidak ada. Siapa penduduk asli di muka bumi ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai tidak pendatang. Semua pendatang, cumaada yang lebih dulu, ada yang lebih belakangan. Manusia berhak hidup di mana saja dengan aman dan nyaman. Menyadari itu, sikap empatik menjadi sangat penting.
Ibu saya pernah memberi resep kepada sayakalau saya mengalami rasa kesal, atau kecewa, atau mungkin sedikit marah karena suatu hal yang tidak sesuai deengan harapan. Ibu saya mengajarkan bahwa mengumpat itu tidak ada gunanya. Justru kalau bisa membalasnya dengan ungkapan, “Mudah-mudahan tambah rezekimu”, atau “Aku berharap kamu selalu sehat”, atau “Doaku agar engkau diampuni yang Maha Kuasa”, atau Mudah-mudahan dilapangkan dadamu”. Kayaknya sulit, di tengah rasa kecewa atau marah kok malah ‘mendoakan’ kebaikan kepada orang lain. Tapi ternyata, tidak sulit juga kok. Coba saja.
*) Dr. Aprinus Salam,
Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM
(Kedaulatan Rakyat, 10 April 2013)