“Indonesia Kecil di Minangkabau”
Latar belakang yang khas selalu dimiliki oleh suatu daerah dan masyarakat yang bernaung di dalamnya, tidak terkecuali Sawahlunto. Daerah pedalaman di Sumatera ini merupakan hamparan hijau dengan menyajikan aktivitas budaya agraris dengan struktur waktu komunal. Perubahan ruang-waktu, diikuti bergesernya orientasi kebudayaan agraris ke industrialis, dimulai pada penghujung abad ke-19, di mana batubara telah ditemukan.
Penemuan tersebut mengubah dan menghadirkan banyak hal baru di Sawahlunto. Perubahan dari waktu komunal ke waktu kolonial, dari monokultural ke yang multikultural, dari kebudayaan agraris ke kebudayaan industrialis yang terikat ke “ladang hitam” batu bara, terjadi dalam waktu relatif singkat. Lompatan tersebut juga mengubah wajah Sawahlunto menjadi kota yang modern. Jalur-jalur sungai diganti dengan rel-rel kereta, disusul dibukanya pelabuhan Teluk Bayur yang memungkinkan terjadinya gelombang migrasi manusia.
Buruh kontrak Cina didatangkan melalui kongsi-kongsi tenaga kerja Cina yang ada di Penang dan Singapura. Buruh kontrak Jawa didatangkan melalui kantor pengerahan tenaga kerja yang ada di Semarang, Batavia, dan Surabaya. Sementara para buruh paksa didatangkan dari penjara-penjara kolonial di Batavia. Mereka yang disebut ini mungkin Madura, Bugis, Bali, Betawi dsb, yang bertemu dengan para buruh lepas asal Minangkabau dan Nias. Bertemu dengan para mandor-mandor asal Batak dan staf dari berbagai bangsa di daratan Eropa.
Kondisi tersebut telah “menyulap” Sawahlunto sebagai daerah multikultur karena banyaknya persinggungan ragam budaya yang dibawa oleh setiap orang yang datang atau didatangkan ke wilayah ini. Dengan sendirinya wilayah ini menjelma jadi ”Indonesia kecil” di pedalaman Sumatra Barat. Kondisi material dan kultural Sawahlunto sangat boleh jadi ikut membentuk kesadaran manusia yang menghuninya. Karena itu, tidak berlebihan bila mengatakan M. Yamin, Soejatmiko dan Adinegoro, juga Dr. Amir yang lahir di Sawahlunto menemukan gagasan kebangsaan Indonesia.
Menimbang keunikan latar sosio-budaya-historis Sawahlunto di atas, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Creole Institute dan Pemerintah Kota Sawahlunto menggelar Seri Seminar Kebudayaan Indonesia dengan topik “Masyarakat, Sejarah, dan Kebudayaan Sawahlunto”. Tujuannya agar memberi kontribusi gagasan dan sumbang pemikiran tentang strategi kebudayaan Indonesia di tengah tarikan-ulur desentralisasi dan globalisasi. Dari topik ini diharapkan akan muncul gagasan aplikatif yang bernas berkenaan sinergisitas antara strategi kebudayaan dan politik disentralisasi saat ini. Apa yang dilakukan di Sawahlunto dalam satu dekade ini menjadi capaian progres yang boleh jadi nantinya akan menempatkan Sawahlunto menjadi salah satu “halaman depan” Indonesia di masa depan.
Seminar ini akan dilaksanakan pada Rabu, 25 September 2013,pukul 08.00 – 16.00 WIB di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dengan pembicara sebagai berikut :
- General Speech oleh Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc. (Rektor UGM)
- Pidato Kebudayaan oleh H. Irman Gusman, S.E., M.B.A. (Ketua DPD RI)
“Strategi Kebudayaan Menuju Indonesia Baru”
- Keynote Speaker oleh Ali Yusuf (Walikota Sawahlunto)
“Multikulturalisme Sawahlunto sebagai Modalitas Pembangunan”
Narasumber Seminar:
-
- Prof. Sjafri Sairin, Ph. D, Guru Besar Antropologi UGM dan UUM Malaysia.
- Prof. Sylvia Tiwon, Ph. D., Guru Besar Berkeley University USA.
- Dr. Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM
- Dr. Elsa Putri E. Syafril, Penulis buku Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto dan Menggali Bara, Menemu Bahasa